Music

Mencetak Hit di Era Disrupsi

November 23, 2021
Mencetak Hit di Era Disrupsi

THE SHOW ID–BAGAIMANA dunia menghadapi perubahan saat ini? Yang konvensional kini beralih ke digital. Informasi bisa tersebar begitu cepat dalam hitungan detik, hanya dengan menyentuh layar gawai dengan jari. Banyak yang kemudian gagal paham dengan era yang disebut disrupsi ini. Baik manusianya maupun skala yang lebih spesifik yakni industri. Lebih spesifik lagi, industri hiburan. Cara-cara lama untuk mencetak hit sudah tidak lagi relevan. Perlu cara baru untuk bisa bersaing di era sekarang.

Derek Thompson, seorang jurnalis Amerika Serikat, menulis buku Hit Makers: The Science of Popularity in an Age of Distraction. Berikut adalah cara-cara yang bisa dilakukan untuk bisa mencetak hit dan populer, dirangkum dari buku karya Thompson. 

Temukan Cara yang Tepat untuk Mengekspos Produk ke Audiens

Semakin sering dibicarakan masyarakat, maka semakin popoler pula produk tersebut. Kenapa? Karena target kita adalah masyarakat itu sendiri, yang menjadi pondasi sebuah popularitas.

Untuk hal ini, tidak hanya cara penyampaian, kita juga harus bisa membaca peluang momen serta waktu yang tepat. Derek Thompson dalam bukunya Hit Makers: The Science of Popularity in an Age of Distraction mencontohkan dua pelukis aliran impresionis Prancis, Claude Monet dan Gustave Caillebotte. Dua-duanya merupakan pelukis yang punya andil besar dalam seni beraliran impresionis pada abad 19. Tapi Monet lebih dikenal ketimbang Caillebotte.

Thompson menulis, tiga tahun setelah Caillebotte wafat, digelarlah pameran besar lukisan-lukisan impresionis di Musee du Luxembourg. Caillebotte juga seorang kolektor lukisan. Seharusnya ini bisa menjadi momennya untuk mendapat eksposur besar. Sebab ini adalah ‘’panggung’’-nya. Sayang dalam pameran itu tidak ada satu pun karyanya yang dipamerkan. Yang dipajang justru karya Claude Monet dan Edgar Degas dan lima pelukis lainnya, yang memang menjadi koleksinya. Pada akhirnya spotlight untuk Caillebotte, berpindah ke ‘’teman-temannya’’.

Mengerti Selera Pasar

Bagaimana caranya mencetak hit? Jawabannya adalah tahu selera konsumen. Selera di sini termasuk tentang kebiasaan atau kecenderungan orang merespon barang baru. Menurut saya, untuk hal ini kita perlu melakukan riset dengan melakukan survey sederhana atau menggunakan data dari pihak ketiga.

Desainer industrial asal Prancis Raymond Loewy, yang dikenal karena dianggap membawa desain modern ke Amerika Serikat (AS), menyebut bahwa harus ada keseimbangan untuk menemukan rumusan rancangan yang sukses. Pertama, orang suka dengan hal-hal yang dia kenali alias tidak terlalu aneh. Kedua, jika barang itu terlalu biasa, orang akan bosan alias tidak meninggalkan kesan. Kedua hal ini harus bisa mendapat porsi yang pas ketika kita akan membuat marketing plan.

Bermain-main dengan Variasi Nada untuk Mencetak Hit

Lagu apa yang lagi sering kalian dengarkan tiap hari? Mengulang-ulang sebuah lagu, bahkan mungkin hingga puluhan kali dalam sehari itu wajar. Karena memang selera manusia terhadap musik pop itu kecenderungannya repetitive.  Derek Thompson menyebut dalam bukunya, 90 persen musik yang kita dengarkan adalah musik yang sudah kita dengar sebelumnya.

Tapi ‘’keakraban’’ orang terhadap pengulangan ini tidak saklek hanya untuk satu hit baru. Karena uniknya orang juga mencari lagu-lagu yang familiar dengan mereka. Dengan begitu, lagu tersebut relate dengan pendengar, bikin mereka terhanyut saat mendengarkan.

Meski selera orang kecenderungannya pengulangan, kita tidak pernah merasa bosan. Sebab, otak manusia memang didesain demikian. Mirip dengan tikus yang tertarik dengan musik yang berulang. Melalui percobaan, pola yang paling efektif untuk menjaga perhatian tikus adalah nada BBBBC-BBBC-BBC-BC-D. Konsepnya sama dengan struktur lagu pop yang bisa menggunakan pola verse-verse, chorus, verse-chorus, bridge. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa selama ada variasi nada dan musiknya familiar, maka orang akan lebih mudah menerima.

Sexism, Sisi Gelap Popularitas

Isu seksisme sebetulnya sudah menjadi isu lama yang tak kunjung usai di industri hiburan Hollywood. Dominasinya lebih banyak laki-laki. Baik di depan maupun belakang layar. Peluang perempuan untuk menjadi pemeran utama, sutradara, penulis skenario, penulis lagu, produser, lebih kecil dibanding laki-laki. Honor aktor laki-laki dan perempuan, gap-nya jauh. Namun seiring berjalannya waktu, kesadaran dari pihak ketiga maupun institusi terkait perihal minimnya ‘’tempat’’ untuk perempuan semakin besar.

Captain Marvel (2019) menjadi film heroine pertama Marvel Studios, langsung mencetak hit dan membuat sejarah. Film yang dibintangi Brie Larson itu bukan hanya menjadi film superhero perempuan pertamanya-nya Marvel, tapi juga masuk klub one billion dollar dengan pendapatan global USD 1,128 miliar (sekitar Rp 16,5 triliun).

Larson pun, dikutip dari Variety mendapatkan honor USD 5 juta (sekitar Rp 73,1 miliar) dengan membintangi Captain Marvel. Jumlahnya lebih besar dari yang didapat Robert Downey Jr dan mendiang Chadwick Boseman Ketika membintangi film stand-alone mereka.

‘’Bicara uang bikin orang melihat kita menjijikkan. Padahal itu jebakan. Akhirnya kita merasa sungkan dan tidak dibayar sesuai kelayakan. Ask what you deserve,’’ ucap Larson saat bicara di Women in The World Summit, New York, April tahun lalu. 

Di Academy Award, setelah selalu mendapat kritikan tentang diskriminasi terhadap perempuan dan kurangnya keberagaman, akhirnya juga membuat perbaikan. Mulai tahun ini jumlah anggota Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) tidak lagi dikuasai usia ‘’kakek-kakek’’. Banyak bintang-bintang usia muda yang jadi anggota. Kini 45 persen anggotanya perempuan. Bahkan ada satu dari Indonesia, sutradara film dokumenter Amelia Hapsari (Fight for Ahok, Rising in Silence).

Seberapa Kuat ‘’Centang Biru’’ Menyokong Popularitas?

Asal ada akun bercentang biru, jumlah followernya banyak, mengunggah atau mempromosikan sesuatu, tunggu saja sebentar. Dalam sekejap postingan itu akan mendulang jutaan view, likes, dan komen. Semudah itu menyebarkan informasi ke jutaan orang di era ini. Era teknologi dan media sosial.

Tapi, platform digital itu seperti pedang bermata dua. Tinggal pilih, akan dimanfaatkan untuk hal baik atau buruk. Dalam film documenter The Social Dilemma (Netflix) terungkap bahwa platform-platform tersebut mulai mengarah untuk memanipulasi manusia. Menjadikan seseorang, bukan dirinya sendiri lagi.

Untuk dunia bisnis, angka-angka yang dihasilkan oleh sebuah media sosial bisa digunakan sebagai tools untuk marketing. Kita manfaatkan big data yang dihasilkan oleh platform tersebut untuk mendongkrak penjualan dan promosi. Contohnya, mengunggah konten yang mendukung image talent, mempromosikan lagu/film baru, menggunakannya sebagai medium untuk berinteraksi dengan penggemar.

Pada era yang disebut disrupsi sekarang ini, dengan ‘’kehadiran’’ produk-produk industri teknologi, hal-hal yang konvensional tidak lagi relevan. Ini menjadi masalah sekaligus tantangan dalam dunia marketing karena konsumen/klien memiliki otonomi untuk memilih menggunakan data-data media sosial maupun platform digital lainnya sebagai pertimbangan.

Namun, perlu dipahami juga agar tidak melewati batas fire wall. Contoh kasus, Adhisty Zara yang mengunggah video ketika bermesraan dengan kekasihnya di IG Story. Hal-hal seperti ini memang langsung menjadikannya trending di medsos tapi kemudian dia juga harus siap menghadapi serbuan komen negatif dari jutaan penggemarnya.

Pertimbangkan Chance Factor

Agar popularitas bisa langgeng, banyak artis yang rela melakukan apapun. Tapi popularitas bukan sesuatu yang bisa dikontrol. Pada akhirnya kemampuannya dalam menentukan daya tarik serta memainkan peran utama yang bisa membuatnya bertahan.

Duncan Watts, ilmuwan komputer Microsoft, mempelajari reaksi dari ribuan orang terhadap sebuah produk baru dengan cara simulasi dengan permodelan. Dalam simulasi Watts, dua elemen digunakan untuk memutuskan apakah suatu produk akan menjadi populer dalam populasi tertentu: kerentanan (seberapa terbuka orang untuk mencoba sesuatu yang baru) dan kepadatan (seberapa baik keterkaitan setiap orang terhadap produk baru).

Setelah mengatur faktor-faktor ini, Watts menjalankan simulasi beberapa kali. Dia menemukan bahwa titik-titik kerentanan dan kepadatan dengan mudah mengarah ke kaskade, di mana informasi dengan cepat berpindah dari satu titik ke titik lainnya, menjelajah seluruh jaringan. Tapi kaskade semacam itu sangat jarang terjadi, hanya terjadi pada 0,1 persen kasus.

Jadi, meskipun semua bahan diukur dengan sempurna, keberhasilan suatu produk bergantung pada berbagai elemen tak terkendali lainnya. Nah ini yang bisa disebut chance factor. Meski hari ini gagal, bisa jadi kemudian hari, sebuah lagu bisa jadi hits.

Contohnya terjadi pada PUBLIC dengan hitnya Make You Mine. Lagu itu dirilis 2014 silam. Tapi kemudian pada 2019 lagu mereka jadi sound video di aplikasi TikTok. Ribuan jumlahnya dan tidak mencantumkan nama mereka sebagai pemilik karya tersebut. PUBLIC lantas menghubungi TikTok dan keadaan menjadi lebih baik. Lagu itu jadi hits di mana-mana. Bahkan PUBLIC kemudian diajak bergabung di label Island Records, label impian mereka sebagai musisi indie sejak SMA.

Konsep Mencetak Hit dengan Menjadi Viral Adalah Mitos

Sekarang ini, gampang sekali orang menjadi terkenal. Bikin saja video prank, lucu, nyeleneh, mengejek orang lain, atau melakukan hal konyol. Yang seperti ini sangat menggelitik masyarakat secara psikologi, untuk membagikan (lewat media sosial) lalu kemudian menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Ini kemudian disebut viral.

Namun pada 2012, ilmuwan di Yahoo mempelajari bagaimana konten menyebar di platform seperti Twitter, dan menemukan bahwa 90 persen tweet tidak dibagikan sama sekali. Tidak hanya itu, dari 1 persen yang dibagikan lebih dari tujuh kali, tidak satu pun yang benar-benar menjadi viral. Yang sesungguhnya terjadi, konten yang benar-benar menyebar seperti virus justru berpindah dari satu sumber yang terhubung dengan baik ke ribuan atau jutaan orang.

Di Amerika Serikat, Super Bowl menjadi salah satu sumber tersebut. Selain ditunggu-tunggu, spot-spot iklan di event ini jadi rebutan. Jadi tidak hanya menanti pertandingannya, jutaan orang yang nonton Super Bowl juga menunggu penampilan artis yang mengisi Halftime Show, juga trailer-trailer film baru yang ditayangkan saat jeda iklan.

Ingat penampilan J-Lo dan Shakira di Halftime Show 2020? Dua diva ini tampil sangat memukau dan viral. Karena setelah acara tersebut selesai, esoknya, hingga berminggu-minggu, orang masih membicarakan aksi J-Lo dan Shakira. Jadi apa sebetulnya yang bisa membuat sesuatu menjadi viral? Jawabannya adalah konten, produk, penampilan, dan karya seni yang berkualitas. (*)

Janesti
Follow Me

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *