Movie

Review Penyalin Cahaya: Marah Hati Aku Lihat Penderitaan Suryani

January 22, 2022
Review Penyalin Cahaya: Marah Hati Aku Lihat Penderitaan Suryani

THE SHOW ID—Berkecamuk dan marah. Ini pas nulis review Penyalin Cahaya setelah nonton filmnya aja, masih kerasa marahnya. Aku bisa ngerasain kekalutan dan penderitaan Suryani (Shenina Cinnamon). Menjadi korban pelecehan seksual dan tidak ada orang yang percaya sama apa yang dia alami. Bagaimana mau percaya, dikasih kesempatan untuk bicara saja tidak. Sendirian memperjuangkan keadilan itu beratttt.

Film Penyalin Cahaya ini sudah ramai dibicarakan bahkan sebelum tayang, karena lebih dulu ikutan festival film di Busan, Korea Selatan. Setelah itu, pada ajang Festival Film Indonesia (FFI) 2021 film yang disutradarai sama Wregas Bhanuteja ini menang 12 Piala Citra. Pemborong kemenangan FFI tahun kemarin adalah film ini. Selain itu Penyalin Cahaya mengangkat isu pelecehan seksual. Hal-hal itu yang bikin rasa penasaran pengin nonton semakin besar.

Wregas bilang kalau dia mengangkat cerita tentang seorang penyintas pelecehan seksual yang melawan. Karena di Indonesia, seringkali korban pelecehan seksual tidak mendapat ruang untuk bicara dan mendapatkan keadilan.

Setelah nonton film berdurasi 2 jam 10 menit ini, memang semua yang dikatakan oleh Wregas tergambar dengan sangat baik. Dari sisi cerita, emosi, juga karakter. Wregas yang juga berperan sebagai penulis naskah, menghadirkan adegan-adegan yang menjadi simbol ketidakberdayaan korban pelecehan seksual. Seperti yang diperlihatkan lewat Sur, nama panggilan Suryani, si tokoh utama. Orang-orang dan lembaga yang seharusnya melindungi Sur, buru-buru cuci tangan. Keberanian Sur untuk bersuara dan mencari keadilan sama dengan melawan dunia. Dia sendirian.

Wregas menghadirkan gambaran penolakan terhadap Sur sejak di rumah. Iya, rumah yang seharusnya menjadi tempat yang paling aman buat Sur. 

Pagi hari setelah pulang dari menghadiri pesta kemenangan teater tempat dia magang jadi web developer dengan keadaan teler, ayah Sur (Lukman Sardi) marah-marah. Dia menyalahkan istrinya yang mengizinkan Sur pergi ke pesta kemenangan teater. Sur yang pagi itu harus mengikuti evaluasi beasiswa di kampusnya, dilarang pakai motor padahal sudah kesiangan. ’’Naik angkot aja, Sur,’’ teriak ibunya (Ruth Marini).

Pulang dari kampus Sur diusir oleh ayahnya. Tanpa ba bi bu dia mengeluarkan barang-barang Sur dan mengatakan kalau dia bukan bagian keluarga itu lagi. Alasannya karena Sur minum alkohol. Apalagi beasiswa yang diterima Sur dibatalkan pihak kampus setelah foto selfie-nya di pesta beredar luas. Pihak kampus menyimpulkan Sur berkelakuan tidak baik hanya dengan melihat foto-foto tersebut. Ibu Sur, yang melihat anaknya diusir, hanya diam saja.

Sejak malam kejadian, yang diterima oleh Sur hanyalah penghakiman. Tidak ada yang menanyakan, kamu kenapa? Ada apa? Apa yang terjadi sama kamu? Kamu baik-baik saja? Tidak ada.

Sampai situ aja, sudah sangat kuat Wregas menggambarkan kondisi korban pelecehan. Emosi penonton sudah dibuat naik turun. Pikiran sudah dibikin berdebat. Coba kalau Sur dengerin orang tuanya buat enggak minum. Coba kalau dia nurut pulangnya enggak kemaleman. Hei!!!! Stop! Pikiranku, fokuslah. Bukan itu intinya. Intinya, pelecehan seksual ini tidak boleh terjadi sama siapa pun, dalam kondisi apa pun, dimana pun! Pelaku pelecehannya sangat salah dan melakukan kejahatan. Bukan korbannya.

Di kasus Sur, Wregas menampilkan cerita keluarga dengan budaya patriarki yang kental. Opo jare bapak (apa kata bapak, Pen) pokoknya. Anggota keluarga lain tidak punya tempat untuk mengeluarkan pendapat. Ibu Sur, meski sebetulnya punya pendapat lain, tidak berani mengungkapkan karena ada suaminya. Ada satu adegan ketika hanya ada Sur dan ibunya. Berada jauh dari rumah. Jauh dari suaminya. Di situ barulah sang ibu mengutarakan yang seharusnya. Adegan ini sangat menyentuh dan emosional. Ambrol wis.

Penyalin Cahaya menjadi debut film panjang Wregas Bhanuteja yang sangat kuat. Tidak cuma dari segi teknis produksi tapi juga para pemainnya. Wregas sangat berani dan berhasil menghadirkan pemain-pemain terhitung baru, yang menurutku sangat bagus untuk memperlihatkan keberlanjutan generasi pemain lakon Indonesia. Biar yang main film bukan wajah yang itu lagi, itu lagi.

Dea Panendra, Lutesha, dan Jerome Kurnia, aku udah sering dengar nama mereka karena cukup sering bermain di film populer. Bagaimana dengan si pemeran utama Shenina Cinnamon? Oh, maafin aku Shenina, meski kamu udah main di beberapa film, tapi yang aku inget di kepalaku hanya Shenina mantan pacar Jefri Nichol. Tapi setelah nonton Penyalin Cahaya, aku akan mengingatmu sebagai aktris muda dengan kemampuan akting memukau. Begitu bagusnya kamu memerankan Suryani.

Akting para pemain lainnya di film ini juga sangat solid. Saling memberikan porsi maksimal, sehingga lebih hidup. Bahkan karakter dosen dan dekan, yang scene-nya tidak terlalu banyak, tapi berhasil menghadirkan sosok yang mbencekno alias bikin benci karena enggan melihat bukti-bukti yang sudah dikumpulkan dan menyalahkan Sur.

Kenapa Harus Kesandung Isu Pelecehan Seksual Sungguhan? ☹

Sayang. Sungguh sangat disayangkan, film ini dinodai oleh kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan oleh salah seorang penulis skenarionya, Henricus Pria. Ironis bukan? Film yang mengangkat isu korban pelecehan seksual ternyata penulis skenarionya menjadi terlapor kasus yang sama.

Skenario Penyalin Cahaya ditulis oleh dua orang. Wregas Bhanuteja dan Henricus Pria. Keduanya diganjar piala Citra FFI 2021 kategori Penulis Skenario Asli Terbaik. Empat hari sebelum filmnya rilis di Netflix, warga twitter mulai membahas soal dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh kru Penyalin Cahaya. Sampai akhirnya pada 10 Januari pihak rumah produksi film ini merilis pernyataan di akun media sosial mereka yang isinya membenarkan kalau salah seorang kru-nya menjadi terlapor pelecehan seksual. Pihak rumah produksi menuliskan kalau nama tersebut dihapus dari kredit Penyalin Cahaya.

review Penyalin Cahaya
Surat penyataan yang diunggah oleh rumah produksi. (Sumber: IG @rekatastudio)

Surat pernyataan Rekata Studio maupun Kaninga Pictures tidak menuliskan dan menyebut nama kru yang dimaksud. Ketika di cek di Netflix, nama Henricus Pria hilang dari kredit penulis naskah. Begitu juga di bagian credit title setelah filmnya tayang pada 13 Januari di Netflix, nama Henricus Pria tidak ada di sana. Di situs IMDb, pada bagian writers, nama Henricus Pria diberi keterangan dalam kurung, uncredited. Tapi kalau cek Wikipedia, masih tertulis namanya sebagai penulis naskahnya.

Sampai sekarang media belum menuliskan lebih jauh soal kasus ini. Pihak rumah produksi hanya menjelaskan kalau mereka mendapat informasi dari komunitas yang mengelola pelaporan kasus pelecehan seksual, kalau Henricus Pria menjadi terlapor atas perbuatannya di masa lalu. Kapan kejadiannya? Apakah korban pelecehan seksual yang dimaksud mendapatkan keadilan? Apakah dia justru terintimidasi seperti Suryani di film yang dia tulis? Semoga yang terjadi sebaliknya. Korban dari kasus pelecehan tersebut, dikasih kekuatan dan keberanian tak terbatas, serta mendapat keadilan. Amin. (*)

Kredit Foto: Rekata Studio & Kaninga Pictures

Janesti
Follow Me

1 Comment

  • Capcus nonton lahh…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *